Pomodo Logo IconPomodo Logo Icon
Tanya PomodoSemua Artikel
Semua
Fokus
Sains

Disrupsi AI dalam Praktik Terapi

Share

Kemunculan teknologi AI dalam ranah kesehatan mental mengubah interaksi antara terapis dan klien, menimbulkan tantangan tentang efektivitas, etika, dan peran tradisional terapi dalam mendukung kesejahteraan psikologis.

11 Des 2025, 15.15 WIB

Mengatur AI Kesehatan Mental: Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan Mendesak

Mengatur AI Kesehatan Mental: Tantangan dan Rekomendasi Kebijakan Mendesak
Perkembangan pesat penggunaan kecerdasan buatan (AI) generatif untuk memberi panduan dan terapi kesehatan mental membawa peluang sekaligus risiko besar. FDA di Amerika Serikat sedang mengkaji cara mengatur perangkat medis AI agar tetap aman dan inovatif. Namun hingga kini, kebijakan dan standar yang jelas masih belum terbentuk, sementara jutaan orang sudah menggunakan AI sebagai konsultan kesehatan mental mereka sehari-hari. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah ketidakjelasan definisi apa yang dimaksud dengan aplikasi kesehatan mental dibandingkan aplikasi kesejahteraan atau wellness. Hal ini penting agar regulasi dapat tepat sasaran dan tidak disalahgunakan oleh produsen AI yang ingin menghindari aturan ketat. Perdebatan dan pertarungan hukum tentang definisi ini diprediksi akan kian sengit. Rekomendasi kebijakan penting dari para peneliti di Stanford, Universitas Texas, dan Carnegie Mellon menyertakan kebutuhan untuk membuat tolok ukur yang jelas dan bisa diukur untuk menilai efektivitas AI kesehatan mental di dunia nyata. Mereka juga mengusulkan agar AI menyediakan API untuk memudahkan pengujian, serta wajib melaporkan secara transparan aktivitas dan kepatuhan terhadap protokol keselamatan. Hal kontroversial lainnya adalah usulan agar fungsi AI untuk kesehatan mental dipisahkan ke dalam aplikasi khusus yang berbeda dari AI generik seperti ChatGPT. Dengan begitu, pengujian dan pengawasan bisa lebih terfokus dan produk tersebut bisa didedikasikan hanya untuk mental health. Sementara itu, praktik AI yang terlalu memanjakan pengguna (sycophancy) dan membangun hubungan tidak sehat juga harus dibatasi demi menghindari dampak buruk psikologis. Kini kita berada dalam eksperimen besar-besaran di seluruh dunia di mana jutaan orang mengandalkan AI untuk kondisi kesehatan mental mereka tanpa aturan baku. Sudah saatnya pemerintah, produsen AI, peneliti, dan masyarakat bekerja sama segera untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan yang menjaga keselamatan sekaligus mendukung kemajuan teknologi dengan bijak.
10 Des 2025, 23.32 WIB

Mengapa Chatbot AI Sering Gagal Menangani Krisis Mental dengan Benar

Mengapa Chatbot AI Sering Gagal Menangani Krisis Mental dengan Benar
Banyak orang yang menghadapi masalah kesehatan mental kini mencoba mencari bantuan melalui chatbot AI populer. Namun, pengujian menunjukkan bahwa respons chatbot tersebut kerap tidak sesuai, terutama ketika pengguna mengaku mengalami pemikiran untuk menyakiti diri sendiri. Beberapa chatbot, seperti ChatGPT dan Google Gemini, mampu memberikan nomor hotline krisis yang tepat dan sesuai dengan lokasi pengguna. Namun, sebagian besar lainnya tidak memberikan informasi krisis sesuai yang dibutuhkan, malah sering mengabaikan atau memberikan nomor dari negara yang salah. Chatbot seperti Replika dan Meta AI bahkan kadang menolak memberikan bantuan nyata atau hanya memberikan jawaban yang tidak relevan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengguna yang benar-benar butuh pertolongan justru akan kesulitan menemukan jalan keluar lewat chatbot. Para ahli mental health menekankan pentingnya memberikan respon yang cepat, tepat, dan tanpa hambatan saat seseorang tengah dalam situasi krisis. Chatbot harus bisa mengajukan pertanyaan terkait lokasi pengguna sebelum memberikan informasi agar dukungan yang diberikan relevan dan bisa diakses. Meski begitu, chatbot tetap memiliki potensi baik sebagai alat pendukung, asalkan dikembangkan dengan pendekatan yang lebih cermat dan terintegrasi dengan layanan darurat lokal agar tidak menambah beban dan kebingungan bagi pengguna yang rentan.
10 Des 2025, 12.15 WIB

Mengapa Percakapan Imajiner dengan AI Bisa Jadi Baik dan Berbahaya untuk Kesehatan Mental

Mengapa Percakapan Imajiner dengan AI Bisa Jadi Baik dan Berbahaya untuk Kesehatan Mental
Penggunaan AI generatif dan model bahasa besar (LLM) sebagai penasihat kesehatan mental sedang meningkat pesat, dengan jutaan orang mengaksesnya hampir setiap hari. AI ini mudah digunakan, murah, dan tersedia kapan saja, sehingga menjadi pilihan populer dibandingkan terapi manusia yang lebih mahal dan terbatas waktu. Namun, penggunaan AI ini menimbulkan fenomena baru di dunia kesehatan mental. Fenomena yang dimaksud adalah internalisasi percakapan imajiner dengan AI, di mana seseorang membayangkan sedang berdialog dengan AI meskipun tidak sedang berinteraksi langsung. Hal ini mirip dengan fenomena yang dikenal dalam terapi manusia sebagai transference atau percakapan batin dengan terapis yang membantu klien merefleksikan nasihat dan mengatasi tekanan mental. Berbeda dari interaksi langsung dengan AI, percakapan imajiner ini terjadi sepenuhnya dalam pikiran pengguna dan tak dikontrol oleh sistem AI. Meski bisa membantu memperkuat pemahaman dan penerapan nasihat, ada risiko negatif seperti ketergantungan berlebihan pada AI, gangguan realitas, atau justifikasi perilaku buruk melalui 'perintah AI' yang sebenarnya hanya rekayasa pikiran pengguna sendiri. Para pakar psikologi telah mempelajari internalisasi hubungan terapetik selama bertahun-tahun, menunjukkan bahwa percakapan batin ini bisa memiliki peran positif dalam proses kesembuhan. Namun, dalam konteks AI yang bukan manusia, fenomena ini masih belum banyak diteliti, sehingga dampak jangka panjangnya belum diketahui dengan pasti. Penulis mengajak masyarakat dan pengembang AI untuk lebih peka terhadap fenomena ini dan mendorong penelitian lebih lanjut agar AI dapat dirancang agar mendukung efek positif dari internalisasi sekaligus meminimalkan risiko negatif. Pilihan ada di tangan pembuat AI tentang apakah mereka akan mendorong atau mengekang penggunaan imajinasi ini dalam terapi berbasis AI.
09 Des 2025, 15.15 WIB

Ketika AI Menguasai Ruang Terapi: Tantangan dan Peluang bagi Terapis Modern

Ketika AI Menguasai Ruang Terapi: Tantangan dan Peluang bagi Terapis Modern
Tren penggunaan AI generatif untuk mendapatkan solusi kesehatan mental semakin naik daun. Banyak klien yang awalnya mencari jawaban dari AI sebelum datang ke terapis mereka. Dengan teknologi AI yang mudah diakses dan murah, orang dapat berdiskusi sepanjang waktu mengenai masalah kesehatan mental tanpa harus membuat janji dengan terapis manusia. Namun, hal ini menciptakan masalah baru karena klien seringkali percaya sepenuhnya pada saran AI yang mereka terima. Jika saran AI berbeda dengan pendapat terapis, klien bisa menolak nasihat profesional dan menuntut terapis menerima pendapat AI, yang menimbulkan ketegangan dan debat di sesi terapi. Meski begitu, ada sisi positifnya. AI dapat membantu klien lebih aktif dan sadar dalam proses terapi, membuka perspektif baru tentang kondisi mereka, dan bahkan menjadi pemicu diskusi yang baik. Terapis yang cerdas dapat menggunakan pemahaman hasil AI untuk membuat sesi terapi lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan klien. Di sisi lain, terapis yang menolak membicarakan atau menggunakan AI berisiko kehilangan kepercayaan klien dan diduga tidak up-to-date dengan perkembangan teknologi. Hal ini bisa membuat klien mencari terapis lain atau menyembunyikan penggunaan AI yang sebenarnya mereka lakukan, yang justru merugikan proses terapi. Kesimpulannya, dunia terapi sedang berubah menjadi relasi terapis-AI-klien, di mana teknologi AI harus dipahami dan diintegrasikan oleh terapis agar dapat memberikan pelayanan terbaik dan relevan di era digital yang terus bergerak cepat ini.
09 Des 2025, 07.00 WIB

AI Mengubah Cara Membuat Antibodi untuk Terapi Penyakit dengan Presisi Tinggi

AI Mengubah Cara Membuat Antibodi untuk Terapi Penyakit dengan Presisi Tinggi
Para ilmuwan kini semakin berhasil menggunakan kecerdasan buatan atau AI untuk mendesain antibodi dari awal. Meskipun dulu desain awal kurang memiliki kekuatan dan fitur yang dibutuhkan untuk obat komersial, perkembangan terbaru menunjukkan hasil yang jauh lebih menjanjikan. Dengan teknologi ini, antibodi dapat dirancang untuk secara tepat menargetkan bagian aktif dari penyakit tertentu, sehingga meningkatkan efektivitas terapi. Teknologi seperti AlphaFold yang sebelumnya mengalami kesulitan memprediksi bagian fleksibel antibodi kini telah diperbarui dan mampu lebih akurat memodelkan struktur antibodi. Beberapa tim riset, termasuk dari universitas terkemuka dan perusahaan swasta, sudah menghasilkan nanobodi dan antibodi penuh yang bisa mengenali target protein sulit yang selama ini menantang para peneliti obat. Desain antibodi secara tradisional mengandalkan penyaringan besar-besaran yang memakan waktu dan sering kali hanya menemukan antibodi dengan kemampuan ikatan yang lemah. Berbeda dengan AI, yang memungkinkan perancangan molekul antibodi secara atomik dengan presisi tinggi untuk menargetkan penyakit seperti kanker, infeksi virus, dan bakteri. Tidak hanya meningkatkan efektivitas pengikatan, antibodi hasil desain AI juga memiliki karakteristik penting untuk menjadi obat yang baik, seperti kemampuan produksi skala besar dan spesifisitas tinggi sehingga tidak menimbulkan efek samping yang merugikan. Contohnya, antibodi tersebut mampu menargetkan protein GPCR yang terkenal sulit didesain menggunakan metode konvensional. Perkembangan ini membuka peluang besar untuk mempercepat pembuatan terapi antibodi baru yang dapat menyelamatkan banyak nyawa dan mengurangi biaya penelitian obat. Dengan adanya alat AI yang semakin canggih dan mudah diakses, diharapkan semakin banyak inovasi dan kemajuan yang muncul dalam bidang terapi antibodi di masa depan.
08 Des 2025, 15.15 WIB

Prospek dan Tantangan Terapi Kelompok AI Tanpa Terapis Manusia

Di era modern, banyak orang menggunakan AI generatif dan model bahasa besar seperti ChatGPT untuk mendapatkan dukungan kesehatan mental. AI ini populer karena mudah diakses dan bisa digunakan kapan saja dengan biaya rendah. Namun, memanfaatkan AI dalam terapi kelompok tanpa terapis manusia adalah hal baru yang menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas dan keamanan. Terapi kelompok berbeda dengan terapi individu karena ada beberapa orang yang berinteraksi sekaligus. Biasanya, diperlukan seorang terapis yang memimpin sesi agar diskusi tetap fokus dan semua peserta merasa nyaman. Terapis juga harus mengelola konflik dan memastikan tidak ada yang merasa tersisih, yang merupakan tugas berat dan rumit. Kini, ada teknologi yang memungkinkan AI menjadi bagian dari sesi terapi kelompok sebagai fasilitator atau bahkan sebagai pengganti terapis manusia. Ini memungkinkan sesi terapi muncul secara spontan tanpa masalah pengaturan jadwal atau biaya tinggi. Namun, AI saat ini belum sepenuhnya mampu mengelola dinamika kelompok secara sempurna seperti terapis manusia. Risiko besar dari sesi terapi kelompok yang dipimpin AI termasuk potensi kesalahan AI memberikan saran yang tidak tepat atau bahkan merugikan, misalnya salah menilai peserta dan membuat mereka merasa tidak dihargai atau bingung. Ada juga kekhawatiran soal privasi, seperti apakah data akan direkam atau dipakai untuk melatih AI lebih lanjut tanpa izin yang jelas. Meskipun teknologi ini berpotensi mengubah cara terapi kelompok dilakukan, masa depan terapi kelompok yang sepenuhnya dikelola AI masih penuh ketidakpastian. Faktor kunci adalah apakah AI bisa hadir sebagai pemimpin yang andal dan aman atau malah berisiko merusak mental peserta. Pengawasan manusia dan peraturan ketat perlu disiapkan agar hal ini berjalan baik.
06 Des 2025, 15.15 WIB

Tanya Terapis Anda 7 Pertanyaan Penting tentang Penggunaan AI dalam Terapi Mental

Di era modern ini, penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan mental semakin meningkat. Banyak orang ingin tahu bagaimana terapis mereka memandang penggunaan AI dalam proses terapi, baik yang sudah menjalani terapi maupun yang baru akan memilih terapis. Hal ini menjadi penting karena AI generatif seperti ChatGPT banyak digunakan untuk bantuan kesehatan mental dengan biaya rendah dan akses mudah kapan saja. Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, ada kekhawatiran tentang risiko yang ditimbulkannya, seperti memberikan nasihat yang tidak tepat atau bahkan berbahaya bagi kondisi mental seseorang. Beberapa terapis menolak keras penggunaan AI, sedangkan yang lain mulai mencoba mengintegrasikan AI sebagai alat tambahan antara sesi terapi untuk membantu klien. Perubahan ini membawa transformasi pada hubungan terapi, dari model dua pihak menjadi hubungan triadik antara terapis, AI, dan klien. Banyak terapis kini harus menghadapi situasi di mana klien membawa informasi dari AI genetik untuk didiskusikan secara langsung dalam sesi mereka, yang menimbulkan tantangan tersendiri. Untuk membantu klien dalam memahami posisi terapis mereka terkait AI, penulis menyusun tujuh pertanyaan penting yang bisa digunakan untuk menilai sikap terapis. Jawaban atas pertanyaan ini akan membantu klien menyesuaikan pilihan terapis sesuai dengan preferensi mereka, apakah mereka ingin terapi dengan dukungan AI atau terapis yang menghindari AI sama sekali. Di masa depan, kolaborasi antara manusia dan AI dalam terapi diprediksi akan semakin berkembang. Kesuksesan terapi bergantung pada kejelasan komunikasi dan kesepahaman antara terapis dan klien mengenai penggunaan AI, sehingga dapat menghasilkan perbaikan dan inovasi dalam proses bimbingan kesehatan mental.

Baca Juga

  • Mengurai Dinamika Hubungan: Pola Psikologis dalam Interaksi Modern

  • Teknologi Militer Tiongkok yang Muncul dan Ketegangan Diplomatik AS

  • Membayangkan Ulang Energi Nuklir: Keamanan, Fusi, dan Aplikasi Baru

  • Keunggulan Genetik: Bagaimana Sifat Turunan Mempengaruhi Tidur, Kecerdasan, dan Daya Tahan

  • Kebangkitan Seismik Asia: Memperkuat Kesiapsiagaan Gempa Bumi dan Tsunami