
Penelitian pada tahun 2020 mengungkap bahwa banjir di Indonesia akan semakin sering terjadi dan semakin parah. Hal ini disebabkan oleh interaksi antara proses ekohidrologi dan sosial, termasuk degradasi tanah pada lahan monokultur seperti perkebunan kelapa sawit yang meluas ke lahan basah dan dataran banjir. Pembangunan bendungan pelindung banjir juga berperan dalam perubahan pola banjir lokal.
Tim peneliti dari Universitas Göttingen, IPB University, dan BMKG melakukan wawancara dan analisis ilmiah di Provinsi Jambi. Mereka menemukan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dan karet menyebabkan tanah menjadi padat sehingga air hujan sulit terserap dan cepat mengalir ke permukaan, memperburuk risiko banjir. Bentang alam dataran banjir yang rusak memiliki peranan besar dalam proses ini.
Penduduk desa juga menilai bendungan dan saluran drainase yang dibangun sering dimanfaatkan oleh pemilik perkebunan besar untuk mengalihkan air, yang mengakibatkan banjir meningkat di perkebunan kecil dan menimbulkan ketegangan sosial. Peneliti mengingatkan pentingnya perlindungan tanah dan perencanaan tata guna lahan agar siklus air tidak terus terganggu terutama di dataran banjir dan lahan basah.
Selain itu, banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi juga kerusakan hutan di hulu Daerah Aliran Sungai. Hutan berperan sebagai spons yang menyerap dan menahan air, menjaga keseimbangan siklus air dan mencegah banjir. Deforestasi masif yang terjadi di wilayah tersebut menghilangkan fungsi hidrologis ini.
Data menunjukkan deforestasi besar terjadi antara tahun 1990-2024 di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, dengan kehilangan hutan primer dan tutupan pohon yang signifikan. Hutan yang tersisa banyak berada di lereng curam yang rawan longsor dan banjir bandang. Tanpa tindakan perlindungan serius, risiko bencana akan terus meningkat, terutama bagi masyarakat miskin yang paling terdampak.