
Courtesy of CNBCIndonesia
Mengapa Belanja Online Saat Stres Bisa Membuat Keuangan dan Mental Terganggu
Memberikan pemahaman tentang alasan psikologis di balik fenomena retail therapy serta dampak negatif dari belanja online yang tidak terkendali agar pembaca dapat mengelola kebiasaan belanja dengan lebih sehat dan bijak.
05 Des 2025, 15.00 WIB
195 dibaca
Share
Ikhtisar 15 Detik
- Belanja online dapat memberikan kelegaan sementara namun berisiko jika tidak dikelola dengan baik.
- Faktor psikologis dan teknologi berkontribusi pada perilaku impulsif dalam belanja.
- Penting untuk mengenali pola belanja dan mengambil langkah untuk menghindari dampak negatif dari retail therapy.
Jakarta, Indonesia - Belanja online saat ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga sebagai cara orang mengatasi stres dan perasaan negatif. Aktivitas ini dikenal dengan istilah retail therapy, yaitu membeli barang untuk merasa lebih baik secara emosional meski kelegaan yang diberikan hanya sementara.
Secara ilmiah, saat seseorang stres, otak mencari stimulus yang memberikan rasa nyaman dengan cepat. Proses belanja online yang mudah dan cepat dapat memicu pelepasan dopamin, yang membuat seseorang merasa senang dan puas untuk sementara waktu.
Pengambilan keputusan membeli barang juga memberi ilusi kontrol pada saat merasa kehilangan kendali atas hidup. Ditambah dengan teknologi e-commerce yang dirancang untuk memudahkan dan mendorong pembelian impulsif, kebiasaan belanja saat stres pun semakin meningkat.
Media sosial juga berperan besar memperkuat motivasi belanja impulsif dengan konten seperti review produk, unboxing, dan promosi yang masif. Hal ini dapat membuat seseorang merasa harus segera membeli agar tidak ketinggalan, terutama saat kondisi emosional sedang tidak stabil.
Namun, kebiasaan ini bisa berdampak negatif seperti penyesalan, masalah keuangan, dan kecanduan belanja. Untuk menjaga agar belanja tetap sehat, disarankan menunda pembelian, menghindari godaan promosi berlebihan, dan mencari cara lain seperti olahraga atau berbicara dengan teman untuk mengatasi stres.
Referensi:
[1] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20251204153846-37-691132/alasan-ilmiah-orang-gemar-belanja-online-saat-stres
[1] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20251204153846-37-691132/alasan-ilmiah-orang-gemar-belanja-online-saat-stres
Analisis Ahli
Dr. Elizabeth Dunn
"Belanja bisa meningkatkan mood secara instan melalui mekanisme dopamin, tetapi kepuasan itu hanya bersifat sementara dan dapat berujung pada keputusan yang tidak rasional."
Prof. Jonah Berger
"Faktor sosial dan teknologi meningkatkan kecenderungan impulsive buying, terutama pada konsumen yang sedang mengalami tekanan emosional."
Analisis Kami
"Retail therapy memang bisa memberikan kelegaan emosional sesaat, tetapi jika digunakan sebagai pelarian utama dari stres, justru memperparah keadaan finansial dan mental dalam jangka panjang. Penguatan teknologi dan media sosial membuat tantangan mengendalikan impuls menjadi lebih besar, sehingga edukasi dan kontrol diri perlu lebih diutamakan."
Prediksi Kami
Jika tren retail therapy terus meningkat tanpa pengendalian, akan semakin banyak konsumen mengalami masalah finansial dan psikologis akibat belanja impulsif yang tidak terkendali.
Pertanyaan Terkait
Q
Apa yang dimaksud dengan retail therapy?A
Retail therapy adalah kecenderungan membeli barang untuk memperbaiki suasana hati.Q
Bagaimana belanja online dapat mempengaruhi suasana hati seseorang?A
Belanja online memberikan instant gratification dan dapat mengurangi emosi negatif melalui proses yang mudah dan cepat.Q
Apa saja faktor yang mendorong perilaku impulsive buying?A
Faktor yang mendorong perilaku impulsive buying antara lain desain platform e-commerce, promo terbatas, dan pengaruh media sosial.Q
Mengapa media sosial berpengaruh terhadap perilaku belanja?A
Media sosial dapat menciptakan ilusi kebutuhan mendesak melalui konten promosi dan tekanan sosial, yang memicu impulsive buying.Q
Apa langkah-langkah yang dapat diambil untuk menghindari belanja impulsif?A
Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk menunda keputusan pembelian, menghapus dorongan visual, dan menetapkan dana khusus untuk belanja hiburan.



