
Banyak perusahaan kini menjalankan berbagai pilot AI seperti chatbot dan sistem rekomendasi, namun hasil dan dampaknya belum maksimal karena otomatisasi belum bergerak ke tahap otonomi yang terkelola dengan baik. Masalah utama adalah belum adanya panduan yang jelas untuk mengelola AI agentik yang bisa bertindak secara mandiri dalam batas bisnis tertentu.
Agentic AI adalah langkah berikutnya dari AI yang tidak hanya menjalankan instruksi, tapi juga mampu memahami lingkungan, berkolaborasi, dan mengambil keputusan sendiri dalam aturan bisnis yang telah ditetapkan. Contohnya dalam ritel, agen AI bisa mengatur promosi harga secara real-time berdasarkan stok persediaan. Di bidang kesehatan, agen bisa mengatur alur kerja pasien untuk efisiensi.
Namun tanpa tata kelola dan kontrol yang baik, sistem AI otonom ini bisa menjadi berantakan. Oleh karena itu, AgentOps muncul sebagai filosofi pengelolaan yang menggabungkan pengoperasian, pengawasan, dan governance agar AI tetap berjalan aman, etis, dan sesuai tujuan bisnis. Itu bukan produk, tapi disiplin operasional.
Untuk membangun AgentOps yang sukses, perlu dimulai dari tujuan bisnis jelas, membangun data terintegrasi yang memberi konteks tepat bagi agen AI, desain transparansi dan kontrol, pengawasan manusia sejak awal, serta membangun kerangka kerja agen yang bisa dipakai ulang. Kemudian sistem harus didukung oleh infrastruktur yang meliputi fabric agen, layer konteks, mesin kebijakan, monitoring, dan console untuk intervensi manusia.
Pemimpin bisnis juga harus mengadopsi prinsip baru seperti fokus pada visi, kualitas data, prioritas etika, kerja sama antar disiplin ilmu, dan mengukur bagaimana AI belajar dan berkembang. Keberhasilan AI di masa depan akan ditentukan oleh seberapa baik sistem otonom dapat berkolaborasi secara cerdas dengan manusia, dan AgentOps merupakan kerangka kerja inti untuk mencapai hal tersebut.