Courtesy of Reuters
Ikhtisar 15 Detik
- Penyelidikan terhadap X menunjukkan kekhawatiran global tentang algoritma bias di media sosial.
- Eric Bothorel berperan penting dalam memicu penyelidikan ini.
- X sebelumnya dikenal sebagai Twitter dan memiliki sejarah masalah terkait penyebaran informasi yang salah.
Pihak berwenang Prancis telah membuka penyelidikan terhadap platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter, milik Elon Musk, karena diduga menggunakan algoritma yang bias. Penyelidikan ini dimulai setelah seorang anggota parlemen mengajukan keluhan pada 12 Januari, mengklaim bahwa algoritma yang tidak adil dapat mempengaruhi cara sistem pengolahan data otomatis bekerja. Penyelidikan ini muncul menjelang pertemuan besar tentang kecerdasan buatan di Paris yang akan dihadiri oleh pemimpin dunia.
Elon Musk, yang membeli Twitter dan menggantinya menjadi X, telah menggunakan platform tersebut untuk mendukung partai dan isu-isu sayap kanan di beberapa negara, yang menimbulkan kekhawatiran tentang campur tangan asing. Penyelidikan ini menunjukkan kekhawatiran global yang semakin meningkat terhadap kekuatan X dan bagaimana platform tersebut dapat mempengaruhi informasi yang diterima oleh pengguna. Sebelumnya, X juga pernah diblokir di Brasil selama lebih dari sebulan karena tidak mampu menghentikan penyebaran informasi yang salah.
Pertanyaan Terkait
Q
Apa yang menjadi fokus penyelidikan terhadap platform X?A
Penyelidikan difokuskan pada dugaan algoritma bias yang dapat mempengaruhi pengolahan data di platform X.Q
Siapa yang mengajukan keluhan mengenai algoritma bias di X?A
Keluhan diajukan oleh Eric Bothorel, seorang anggota parlemen Prancis.Q
Apa yang dilakukan unit J3 dalam penyelidikan ini?A
Unit J3 sedang menganalisis dan melakukan pemeriksaan teknis awal terkait dugaan algoritma bias di X.Q
Mengapa X pernah diblokir di Brasil?A
X diblokir di Brasil karena gagal menghentikan penyebaran misinformasi.Q
Siapa yang akan hadir di AI summit di Paris?A
AI summit di Paris akan dihadiri oleh pemimpin global termasuk Wakil Presiden AS JD Vance dan Perdana Menteri India Narendra Modi.