
Penganggaran teknologi informasi (TI) secara tradisional dilakukan dengan meninjau pengeluaran tahun sebelumnya dan menyesuaikan persentase anggaran. Namun, pada tahun 2026, cara ini dianggap tidak efektif karena teknologi sekarang menjadi pusat pertumbuhan dan keunggulan kompetitif dalam bisnis. Pendekatan lama ini membuat perusahaan rentan terhadap risiko yang lebih tinggi, seperti serangan siber dan perubahan cepat dalam ekspektasi pelanggan.
CFO dan CIO perlu bersama-sama mengubah paradigma penganggaran TI, dari sekedar mengendalikan biaya menjadi mengekstrak nilai. Dengan melihat pengeluaran TI sebagai portofolio investasi yang terdiri atas kegiatan operasional rutin (run), efisiensi dan peningkatan pengalaman pelanggan (grow), serta transformasi bisnis (transform), perusahaan bisa lebih fokus dan adaptif terhadap kebutuhan yang berubah-ubah.
Tantangan baru seperti optimalisasi cloud, keamanan siber yang menjadi prioritas di tingkat dewan, serta adopsi AI dan otomasi dengan skala besar, menuntut anggaran TI yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kondisi terbaru. Selain itu, tekanan regulasi dan kekurangan talenta ahli TI juga menjadi aspek penting yang harus diperhitungkan dalam perencanaan anggaran.
Untuk mengatasi kompleksitas ini, kolaborasi yang erat antara CFO dan CIO sangat diperlukan. CFO berperan untuk memberikan kerangka pengelolaan modal dan risiko, sementara CIO menerjemahkan kebutuhan teknis menjadi hasil yang dapat diukur. Kerjasama ini harus didukung oleh ulasan portofolio yang rutin setiap bulan serta alat ukur yang terpadu agar investasi TI selalu selaras dengan tujuan bisnis.
Akhirnya, perusahaan yang mampu mengelola anggaran TI sebagai portofolio investasi yang dinamis, berfokus pada hasil dan didukung kemitraan strategis seperti MSP dan MSSP, akan menjadi pemenang di era teknologi yang semakin kompleks dan cepat berubah. Sebaliknya, yang terjebak pada penganggaran statis akan menghadapi berbagai masalah mulai dari pemborosan, risiko keamanan, hingga kehilangan kepercayaan pelanggan.